...

Photobucket

Minggu, 01 Juni 2008

Islam Radikal?

Salah satu kolom dalam Liputan 6:

CATATAN PRODUSER

02/06/2008 08:47
Islam Radikal Mengancam

Ketika perbedaan diselesaikan dengan kekerasan dan polisi tidak bertindak tegas terhadap aktornya, maka demokrasi sebenarnya sudah mati. Kekerasan akan berbalas kekerasan. Korban akan berjatuhan, luka atau tewas. Dan, masyarakat akhirnya ada dalam kekacauan. Kekacauan adalah pertanda demokrasi sudah mati.

Demokrasi kita tentu belum mati. Ia justru baru hidup setelah lama mati di masa rezim Orde Baru lebih 30 tahun. Tapi tanda-tanda kematian demokrasi kita yang baru saja hidup itu mulai nyata. Tindak kekerasan yang dilakukan segerombolan orang dengan berteriak mengagungkan nama Tuhan ("Allahu Akbar") terhadap sejumlah orang yang tengah mengekspresikan pendapat dan sikapnya di Lapangan Monas, Jakarta, adalah contohnya.

Gerombolan penyerang itu memakai baju berwarna putih (berarti suci). Pada sebagian anggota gerombolan itu tertera lambang dan nama sebuah organisasi kemasyarakatan Islam. FPI, begitu tertulis: Front Pembela Islam. Ini bukan tindak kekerasan kali pertama yang dilakukan organisasi itu. Hari-hari dan waktu-waktu sebelumnya, anggota organisasi ini juga gemar melakukan tindak kekerasan terhadap fasilitas umum dan milik pribadi dengan dalih memberantas judi dan maksiat.

Di Monas kemarin, selain sebuah mobil yang mereka rusak, puluhan orang mereka hajar hingga memar dan berdarah di wajah. Sebagian terpaksa harus dirawat di rumah sakit. Para korban ini adalah mereka yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Anggota Aliansi berkumpul di Monas untuk melanjutkan perjalanan ke Bundaran Hotel Indonesia guna mengadakan apel peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni.

Masih belum jelas kenapa FPI menyerang. Besar dugaan karena sikap Aliansi yang hendak membela dan mempertahankan keberadaan Ahmadiyah, yang sejak 1925 sudah eksis di Indonesia. Beberapa hari sebelumnya di beberapa media memang Aliansi memasang iklan dengan judul "Mari Pertahankan Indonesia Kita!" Ditanda-tangani sekitar 300 tokoh dan aktivis dari berbagai kalangan, isi iklan itu antara lain menyinggung soal penganut Ahmadiyah yang mengalami teror oleh sekelompok orang.

FPI bersama organisasi kemasyarakatan Islam lainnya, seperti Majelis Mujahiddin dan Hizbut Tahrir bersikap berbeda dengan Aliansi dalam memandang Ahmadiyah. FPI mengikuti fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak kehadiran Ahmadiyah. Tindak kekerasan bahkan sempat mereka timpakan pada sebagian penganut Ahmadiyah. Sekarang mereka menyerang orang yang membela Ahmadiyah.

Benar-benar mencekam dan menakutkan. Para pembela Ahmadiyah, keragaman, dan Pancasila kini bisa merasakan secara jelas dan langsung betapa derita yang kini dialami pengikut Ahmadiyah: kekerasan dan ancaman. Sekitar 300 orang yang ikut menerakan namanya dalam iklan Aliansi di media cetak itu pun sekarang merasa terancam dan bisa menjadi sasaran FPI dan kelompok Islam radikal.

Pengamat dan akademisi di Indonesia sebaiknya mengubah tesisnya. Tidak benar Islam radikal di Indonesia bukan ancaman. Argumen yang menyatakan mereka hanya minoritas, jumlahnya kecil, dan tidak punya akses politik formal -- dan mayoritas Islam di Indonesia adalah moderat dan itu ditandai dengan kehadiran Muhammadiyah dan NU yang beranggotakan jutaan – tak bisa lagi dipertahankan. Kekerasan yang mereka lakukan dan polisi yang tidak berkemampuan bertindak tegas menjadi bukti nyata bahwa gerakan Islam radikal sudah sampai pada tingkat membahayakan kehidupan bersama dan demokrasi.

Islam radikal tidak mengenal penyelesaian perbedaan secara damai dan dialogis yang justru menjadi esensi demokrasi. Mereka memanipulasi ajaran Islam yang begitu murni dan anggun serta kaya dengan tradisi dan sejarah pemikiran yang berisikan rahmatan lil-alamin. Di tangan kaum radikal, Islam tampil cemar, penuh darah dan kekerasan, serta mendiskriminasikan kaum perempuan.

Indonesia bukan negara Islam, apalagi negara Islam radikal. Indonesia adalah negara republik. Didirikan hasil perjuangan banyak suku, ras, dan agama, republik ini juga berdiri di atas hukum. Polisi harus menangkap dan memproses kaum radikal yang mengobrak-abrik prinsip demokrasi ini, lalu ajukan ke jaksa untuk dibuat tuntutan agar cepat diadili dan dijatuhi hukuman.


Iskandar Siahaan
Kepala Litbang Liputan 6


Tidak ada komentar: